Penulis: Suzanne Collins
Penerjemah: Hetih Rusli
Penerbit: GPU
Tahun: 2009
Hlm: 408
ISBN: 9789792250756
The Synopsis
Katniss tinggal di Distrik 12. Distriknya merupakan wilayah termiskin di seluruh negara Panem dengan Capitol sebagai pusat kota yang dikelilingi 12 distrik. Negara ini memiliki acara televisi tahunan bernama The Hunger Games untuk menghibur seluruh negeri. Acara ini dirancang oleh Capitol sebagai bentuk hukuman karena distrik-distrik lain pernah memberontak terhadap Capitol. Hanya saja para pemainnya diambil dari masing-masing distrik—tanpa melibatkan Capitol. Setiap distrik harus mengirimkan seorang anak perempuan dan laki-laki. Kemudian dua puluh empat peserta tersebut harus bertarung—membunuh hingga tersisa satu pemenang yang bertahan hidup.
Katniss hanyalah remaja berusia 16 tahun yang sangat menyayangi adik perempuannya, Prim. Ketika nama Prim terpilih untuk mengikuti The Hunger Games, Katniss mengajukan diri untuk menggantikannya. Karena ia tahu, kecil sekali kemungkinan Prim yang rapuh untuk dapat bertahan hidup dalam permainan itu. Sudah bertahun-tahun Distrik 12 tempatnya tinggal tidak ada yang berhasil pulang menjadi pemenang. Tentu, pemenang disini artinya adalah satu-satunya anak yang berhasil bertahan hidup dengan membunuh peserta lainnya. Kalau itu resiko yang dihadapi Prim yang manis dan mungil, yang ikut menangis saat ia menangis, lebih baik Katniss saja yang menggantikannya. Lagipula sejak ayahnya meninggal, bisa dibilang Katnisslah yang menjaga dan melindungi keluarganya karena ibunya terkena depresi, tak sanggup melakukan apa-apa, bahkan untuk mengurus anak-anaknya sekalipun. Yang Katniss tak tahu, pertandingan kali ini akan menjadi pertarungan tak terlupakan bagi penduduk Panem.
The Games
Meskipun Suzanne Collins mengaku buku ini terinspirasi dari permainan Gladiator, tapi mau tidak mau saya merasa adanya banyak kemiripan antara The Hunger Games dengan film jepang berjudul Battle Royale yang dibintangi Tatsuya Fujiwara (dan menurut saya merupakan film paling keren sepanjang masa).
The Hunger Games ini dirancang dengan tujuan untuk menghukum distrik-distrik yang pernah memberontak terhadap Capitol. Sehingga mereka meminta tumbal dua anak-anak (laki-laki dan perempuan) dari tiap distrik untuk menjadi peserta. Secara spesifik, anak berusia 12 tahun hingga 18 tahun maksimal. Tiap tahun masing-masing anak wajib memasukkan nama mereka untuk kemudian di undi. Namun jika kau miskin dan kelaparan, seperti Katniss, bisa memasukkan namanya lebih banyak untuk ditukar dengan tessera (tessera bisa ditukar dengan setahun gandum dan minyak). Dalam permainan ini, para peserta dipaksa untuk saling membunuh, karena pilihannya hanya tinggal dibunuh atau membunuh. Hingga tersisa satu orang yang bertahan hidup saja sebagai pemenangnya.
Dalam Hunger Games, tiap tahun disediakan arena pertarungan yang berbeda. Dirancang sedemikian rupa oleh para juri untuk memberikan tantangan dan tontonan menarik baik untuk peserta maupun para penonton. Tentunya dengan teknologi canggih yang bisa diatur dari ruang kontrol. Seperti suhu udara, cuaca, siang dan malam, misalnya. Jika suasana terlalu tenang, dalam arti para peserta memilih untuk saling sembunyi, maka Juri dapat memaksa mereka keluar dari persembunyian—dengan menciptakan kebakaran, badai, hujan buatan—sehingga peserta tadi keluar dari zona nyamannya dan digiring untuk lari menuju peserta lain agar saling bunuh. Tentu, para peserta juga bisa bersekutu untuk membunuh peserta lain yang lebih lemah. Dan nantinya setelah hanya mereka yang tersisa, mereka bisa saling tusuk dari belakang hingga tinggal satu pemenang.
Plot cerita film Battle Royale, memiliki ide cerita berbeda namun dengan inti permainan yang sama. Dimana disuatu masa, keadaan ekonomi negara Jepang sangat kacau, anak-anak muda di Jepang sudah kehilangan rasa hormat pada generasi tua dan bisa dibilang sudah lepas kontrol. Pemerintah menyetujui reality show dimana mereka secara acak memilih satu kelas untuk menjadi peserta dalam Battle Royale. Sehingga satu kelas siswa-siswi kelas 9 sebanyak 42 orang diculik lalu diasingkan ke sebuah lokasi terpencil. Disana mereka di beri ransel-ransel secara acak yang berisi persediaan logistik sekaligus senjata dan satu kalung yang akan meledak jika peserta melanggar peraturan. Kemudian mereka dipaksa harus saling membunuh dalam kurun waktu tiga hari hingga tersisa satu orang pemenang... atau mereka semua mati. Tentu saja segala kegiatan mereka akan direkam dan disiarkan dalam acara TV nasional. Kemudian sekelompok murid mulai bersekutu untuk menghindari permainan brutal tersebut dan mencari cara untuk bisa keluar dari pulau terpencil itu tanpa harus saling membunuh.
Sounds familiar, kan?
The Thrill
Meskipun The Hunger Games dimasukkan dalam kategori Children’s Books oleh Scholastic namun menurut saya buku ini terlalu sadis bahkan untuk kategori YA sekalipun. Jenis sadis tanpa sensor. Seperti pembunuhan dengan darah muncrat, daging terkelupas, leher tergorok, jantung tertombak, dsb. Tipikal buku dystopian kategori anak atau YA biasanya selalu punya teman hero/heroine yang lovable, dan karena pembaca menyukai mereka, maka pengarang memastikan teman hero/heroine ini tak bisa mati. Tapi jangan berharap banyak jika kamu membaca buku ini karena kisah ini jauh dari happy ending. Dan menilik betapa dinginnya Suzanne Collins dalam membunuhi karakter-karakter di dalamnya—bahkan karakter pembantu dominan yang lovable sekalipun—bisa dibilang buku ini terlalu ‘kelam’ karena nasib para karakternya berakhir tragis. Namun justru karena pengarangnya ‘tega’ dan ‘sadis’ buku ini worth it. Jenis buku yang bikin kita salah tebak dan terus terkejut sampai halaman terakhir. Harap-harap cemas dan bikin kita nggak bisa berhenti baca.
The Future
Sangat tidak jelas setting cerita ini di tahun ke berapa. Kecuali fakta bahwa Amerika Utara sudah musnah dan sekarang berdiri negara Panem, dengan Capitol sebagai pusat kota dan 12 distrik tersebar mengelilinginya. Juga tidak dijelaskan negara tetangga dari Panem itu sendiri, yang menurut saya mendukung cerita karena informasi antar distrik sendiri dibatasi dan sangat di kontrol oleh Capitol. Sehingga tiap distrik terisolasi satu sama lain. Namun pertanyaan alasan musnahnya Amerika Utara tidak terjawab hingga akhir.
Dalam negeri masa depan buatan Suzanne Collins ini perpaduan antara negera dunia ketiga dengan kecanggihan teknologi yang bertolak belakang. Dimana di distrik 12 sendiri seolah kembali ke zaman prehistorical dimana orang dewasa yang sudah cukup umur harus bekerja di tambang batu bara. Tidak ada kendaraan di distrik 12 kecuali kereta api yang membawa orang-orang dan hasil tambang ke Capitol. Untuk ke Capitol sendiri, penduduk Distrik 12 tidak bisa seenaknya pulang pergi kesana karena mereka harus mendapat undangan khusus dari Capitol terlebih dahulu. Lokasi distrik 12 juga dibatasi oleh pagar listrik. Mereka yang tertangkap basah berada di luar batas pagar akan dibunuh. Tentu Katniss yang pandai memanah bisa berburu (karena banyak sekali orang yang mati kelaparan di distrik 12) setiap hari menyusup keluar pagar untuk berburu tupai, anjing liar atau daging apapun yang bisa ia jual ke Hob (pasar gelap). Ia ahli memanah, memasang perangkap buruan dan memanjat pohon tinggi dengan badannya yang kecil dan ringan.
Disisi lain, di Capitol, teknologi sudah berkembang sedemikian canggihnya. Dengan kamar mandi yang punya ratusan tombol pilihan shower (untuk sabun dengan berbagai aroma, semprotan keras-lembut dalam berbagai suhu), dan banyaknya praktek operasi plastik yang membuat penduduk Capitol awet muda atau berpenampilan nyentrik (dengan merombak wajah agar memiliki kumis kucing, misalnya). Tentu saja, arena Hunger Games sendiri yang dirancang selama bertahun-tahun dengan teknologi tinggi untuk menciptakan lokasi senyata mungkin dengan alam namun tetap dapat di atur dari ruang kontrol para juri.
Adanya mutt—mutan yang tentunya akrab ditelinga pecinta sci-fi dan sudah sangat sering berseliweran dalam film X-Men. Namun Mutt disini digambarkan sebagai monster yang buas dan haus darah yang dikendalikan oleh para ilmuwan Capitol.
The Character
Katniss, sebagai tokoh utama, adalah gadis yang dikhianati orang tuanya, sehingga ia terpaksa berperan sebagai tulang punggung keluarga yang selalu melindungi Adik dan Ibunya. Ia gadis yang mandiri, keras hati, dan sangat tertutup—jika tidak bisa dibilang agak kejam. Namun ia luluh dalam kerapuhan, seperti Prim (adiknya) dan Rue (peserta Hunger Games yang bertubuh mungil, rapuh, dan sangat mirip Prim). Ia bisa melakukan apa saja untuk bertahan hidup dalam Hunger Games. Termasuk berpura-pura mencintai Peeta selama Hunger Games berlangsung agar penonton menyukai mereka dan mau menjadi sponsor mereka. Sponsor disini nantinya akan mengeluarkan uang untuk memberikan bantuan kepada mereka di arena (obat-obatan, makanan, senjata dll).
Peeta, sebagai salah satu peserta laki-laki dari distrik 12 memiliki karakter menyenangkan, lucu, dan selalu tahu harus berkata apa. Peeta adalah kebalikan dari Katniss yang dingin. Jika Katniss pandai berburu, maka Peeta suka sekali menghias kue. Semua orang menyukai Peeta. Dan ketika Peeta menyatakan cintanya pada Katniss dalam wawancara Hunger Games, Katniss tahu seluruh hati Panem bersimpati pada kisah cinta mereka—pasangan yang tak mungkin bisa bersatu. Jadi sebisa mungkin Katniss berperan menjadi kekasih yang baik. Dan Peeta mau melakukan apapun untuk melindungi Katniss agar tidak terbunuh dalam The Hunger Games.
Haymitch, salah satu pemenang Hunger Games yang sekarang jadi orang tak berguna, selalu mabuk dan tak sadarkan diri. Namun Haymitch satu-satunya mentor yang bisa mereka andalkan untuk bertahan hidup dalam permainan ini. Menjaga mereka dari luar arena dengan cara mencari sponsor untuk mereka berdua.
Dst.. yang menurut saya karakternya dominan namun dikorbankan dengan semena-mena. Lebih baik tidak perlu saya ulas disini karena mereka jauh lebih lovable kalau anda membacanya sendiri.
The Bitter Part
Berawal dari review Natha yang oke banget tentang buku ini dan banyaknya hashtag di twitter yang mengelu-elukan novel ini sebagai #bacaanwiken paling recommended mau nggak mau saya jadi penasaran. Nah, setelah melalu perjuangan keliling Madiun, akhirnya saya menemukan novel ini. Tinggal satu pula stoknya. Plastiknya sobek bagian atas cover halaman bukunya. Kotor bgt karena stoknya tinggal satu edisi tersisa. Dan bindingnya jelek karena halaman tengahnya lepas. Geez. Tapi eh tapi nggak boleh komplen, karena ini cuma satu-satunya buku yang bisa saya temukan.
Dan setelah baca, ternyata...
Exhilarating! Haha. Perpaduan action, adventure, romance, sci-fi, fantasy dan thrill yang sangat mengasyikkan. Dengan POV orang pertama—Katniss yang dingin dan pragmatis terasa menenangkan. Karena kita sudah biasa disuguhi heroine yang biasanya lovable dan sensitif.
Yang menyenangkan dari karakter-karakter Suzanne adalah adanya pertukaran pengkategorian gender. Dimana heroine kita, Katniss, sebagai anak perempuan, lebih maskulin (pandai berburu, memastikan keluarganya mendapat makan dan secara karakter, sangat dingin dan susah didekati) namun tetap sensitif (melindungi dan mengayomi Rue). Disisi lain, Peeta sebagai hero-nya, anak bungsu pemilik toko roti yang selalu kenyang tiap malam dan runner-up dalam pertandingan gulat (pemenang pertamanya, kakak lelakinya) namun perasa, pandai bicara, sangat memahami Katniss dan suka sekali menghias kue.
Love-line dalam cerita ini unik. Karena nggak ada kisah cinta menye-menye yang tipikal. Justru Suzanne meramu romance yang sedikit rumit yang penuh prasangka dan penyangkalan. Karena tokoh utama kita disini dingin dan susah membuka hati. Peeta yang mengaku menyukai Katniss selalu hangat dan sangat melindungi Katniss. Sampai Katniss sendiri tidak yakin akan perasaannya terhadap Peeta karena karakter pragmatisnya hanya menyisakan insting bertahan hidup. Ia meragukan kebaikan-kebaikan Peeta yang menurut saya sangat logis karena Hunger Games hanya menyisakan satu pemenang. Jadi Katnis selalu menyiapkan hati jika suatu saat ia terpaksa membunuh Peeta.
Kemudian, ditengah tekanan perburuan nyawa para peserta, Suzanne sukses memasukkan sisi humanis di setiap karakternya. Dimana Katniss dan Peeta serta beberapa karakter lainnya tidak mau kehilangan jati diri mereka sendiri sebagai manusia dalam permainan tersebut sementara disisi lain, peserta lainnya terlalu larut dalam memenangkan pertarungan itu—membunuh dianggap sebagai suatu kebanggaan, dst. Bahkan berkali-kali terjadi pertentangan batin dalam diri Katniss atas keputusannya membunuh.
Dari kedalaman pikiran Katniss, dapat kita rasakan adanya tekanan berat yang membuat Katniss stres, delusional dan hampir depresi sehingga Suzanne sukses membuat mengaduk emosi. Tentunya tetap dalam kadar ringan karena bagaimana pun ini buku untuk Young Adults—meskipun kesadisannya cukup bikin miris. Namun disinilah poin plus buku ini, sisi humanis dan realitisnya yang membuat buku ini menarik. Dan romance yang dieskplore dari sudut lain menurut saya original sekali.
Kabarnya tahun depan film The Hunger Games akan segera release dengan Jennifer Lawrence (yang sempat main juga di X-Men: First Class) sebagai Katniss dan Josh Hutcherson (child actor, prodigy for fantasy and action movie) sebagai Peeta. Dengan berat hati saya beri nilai 4 bintang saja, karena satu alasan pasti bahwa buku ini terlalu nikmat untuk diakhiri dan bahwa saya terlalu sakit hati karena ternyata buku ini masih berseri. Ouch!
2. Catching Fire
3. Mockingjay
Kabarnya tahun depan film The Hunger Games akan segera release dengan Jennifer Lawrence (yang sempat main juga di X-Men: First Class) sebagai Katniss dan Josh Hutcherson (child actor, prodigy for fantasy and action movie) sebagai Peeta. Dengan berat hati saya beri nilai 4 bintang saja, karena satu alasan pasti bahwa buku ini terlalu nikmat untuk diakhiri dan bahwa saya terlalu sakit hati karena ternyata buku ini masih berseri. Ouch!
My review of the Series's List:
1. The Hunger Games2. Catching Fire
3. Mockingjay