Bo Kyung mengernyit marah padanya. Namun karena banyak orang yang melihat, Bo Kyung berusaha menenangkan diri dan menahan emosinya. Ia berbalik dan berjalan menjauh.
"Aku hanya mencemaskan keadaan Yang Mulia." ujar Bo Kyung, memaksakan diri untuk tersenyum. "Kau tidak perlu melaporkan hal ini padanya."
Kasim mengangguk pelan.
Ratu berjalan pergi bersama dayangnya. Kasim menarik napas lega.
"Adakah orang di luar?" panggil Hwon.
Kasim bergegas masuk ke dalam kamar.
"Panggilkan tabib." perintah Hwon.
"Apakah Anda merasa kurang sehat, Yang Mulia?" tanya Kasim cemas.
"Bukan aku, tapi dia." kata Hwon, menunjuk Wol.
"Anda tidak bisa, Yang Mulia." tolak Kasim.
"Apa maksudmu?" tanya Hwon, menatap kasim tajam.
"Tabib istana hanya untuk mengobati anggota kerajaan." ujar kasim. "Mana mungkin ia mengobati shaman?"
"Bukankah ia adalah jimat yang menyerap energi negatif dariku?" tanya Hwon. "Jika tubuhnya tidak sehat, maka itu juga akan mempengaruhi aku. Ini bukan untuknya, tapi untukku. Cepat panggil tabib."
"Tapi Yang Mulia..."
"Ini perintah!" seru Hwon marah.
Kasim tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ia bergegas keluar untuk memanggil tabib.
Woon keluar.
"Kenapa kau keluar?" tanya pengawal.
"Yang Mulia memerintahkan semua orang keluar dari kamarnya." jawab Woon. Ia melihat pengawal memegang sesuatu. "Apa itu?"
"Ketika memeriksa shaman itu, aku menemukan surat ini." jawab pengawal. "Kelihatannya gadis ini menulis surat cinta untuk Yang Mulia."
Pengawal menyerahkan surat itu pada Woon.
Tubuh Bo Kyung gemetar karena marah.
Ia melempar barang-barang kemudian berteriak dan menangis histeris.
Tabib istana mengobati Wol.
Wol mendongak menatap Hwon yang sedang membaca buku.
Ketika tabib berganti posisi untuk mengobati lengan kanan Wol, diam-diam Hwon mencuri pandang ke arahnya.
Mulanya Wol menunduk, namun ia mendongak sehingga matanya dan Hwon bertemu.
Hwon kembali membaca buku.
Kasim diam-diam memperhatikan tingkah laku keduanya.
Wol berada di sisi Hwon ketika ia tidur. Ia hanya duduk diam tanpa melakukan apapun.
Setelah merasa kalau Hwon sudah tertidur pulas, Wol beranjak pergi.
Setelah Wol pergi, Hwon membuka matanya. Rupanya ia tidak tidur.
Keesokkan harinya, Woon menyerahkan surat dari Wol pada Hwon.
"Jika Yang Mulia tidak mau menerimanya, aku akan membuangna." ujar Woon.
"Letakkan saja disana." ujar Hwon dingin.
Ia terdiam sejenak, kemudian meraih surat itu dan membacanya.
"Gulma memang bukanlah apa-apa." ujar Wol dalam suratnya. "Walaupun gulma bukan tanaman yang cantik, namun mereka masih berguna. Walaupun shaman bukanlah manusia, namun mereka adalah rakyat. Walaupun shaman bukan manusia, namun kami tetap bagian dari rakyat Yang Mulia."
Hwon tersenyum. "Surat yang pendek namun seperti pukulan telak." katanya.
Kasim hendak mengintip isi surat itu. Hwon mengernyit tajam padanya.
"Sangat langka menemukan shaman yang bisa membaca." kata kasim. "Luar biasa melihat shaman itu bisa menulis dengan tulisan yang sangat indah."
Hwon teringat ketika dulu ia membaca surat indah dari Yeon Woo.
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu" pikir Hwon, larut dalam lamunannya.
"Yang Mulia, dia hanyalah seorang shaman." ujar kasim.
"Kata siapa ia bukan shaman?"
"Aku sudah puluhan tahun melayani Yang Mulia." ujar kasim. "Jadi, mana mungkin aku tidak bisa menebak pikiran Yang Mulia? Hati Yang Mulia tidak boleh ragu."
"Kau ingin mengatakan kalau hatiku tersentuh oleh shaman itu?" tanya Hwon.
"Dia... bukan Nona Yeon Woo." ujar kasim pelan. "Tidak peduli semirip apapun shaman itu dengannya. Nona Yeon Woo sudah..."
"Diam! Jangan dilanjutkan!" seru Hwon.
Kasim bercerita bahwa tadi malam Bo Kyung datang dan melihat Hwon dengan Wol. Ia meminta Hwon sedikit menghargai dan memperhatikan perasaan Bo Kyung.
Bo Kyung hanya berbaring terus di kamarnya.
Mendadak dayangnya masuk dan mengatakan kalau Hwon akan datang.
Bo Kyung langsung bangkit dari tidurnya.
"Tolong bawakan pakaian dan perhiasanku." kata Bo Kyung bersemangat. "Cepat."
Saat Hwon sedang berjalan menuju paviliun Ratu, Ibu Hwon melihatnya dan tersenyum. Ia berpikir bahwa hati putranya kini sudah mencair.
"Apa katamu?!" tanya Ibu Suri terkejut pada ibu Hwon. "Yang Mulia datang ke paviliun Ratu?"
"Benar." jawab ibu Hwon. "Aku baru saja kembali dari sana. Saat ini emosi Ratu sedang tidak stabil, tapi aku rasa ketulusan Ratu telah membuka hati Yang Mulia."
"Ini sangat mengejutkan." ujar Ibu Suri, terlihat curiga. "Sejak shaman itu masuk ke istana, semua hal berjalan dengan sangat lancar."
"Kenapa ibu mengira semua ini berkat shaman?" tanya ibu Hwon. "Semua ini adalah berkat usaha ibu memperhatikan kesehatan Yang Mulia sehingga membuat langit tersentuh."
"Sejak shaman itu ada di sisi Yang Mulia, tubuhnya perlahan membaik." ujar Ibu Suri. "Hubungan di istanapun menjadi sangat lancar. Dia pantas menjadi anak asuh Shaman Jang. Kelihatannya kita harus memerintahkan astrolog untuk menentukan hari penyempurnaan (hubungan suami istri) lagi."
Bo Kyung kelihatan sangat senang menerima kedatangan Hwon.
"Kau kelihatan tidak sehat." kata Hwon. "Adakah hal yang menganggumu?"
"Bagiku, selain memikirkan kesehatan Yang Mulia apalagi yang perlu kukhawatirkan?" ujar Bo Kyung. "Aku hanya kurang tidur tadi malam."
"Kudengar kau datang ke kamarku tadi malam." kata Hwon datar.
"Mohon maafkan aku, Yang Mulia." ujar Bo Kyung, kelihatan terkejut. "Aku mengakuinya. Aku sangat mencemaskan kesehatanmu."
Hwon memandang Bo Kyung tajam. "Apa yang ingin kau pantau?"
"Memantau?" tanya Bo Kyung. "Kenapa Yang Mulia berkata begitu?"
"Terlepas dari apa yang kau lihat dan kau dengar, tidak ada seorangpun di kamarku." ujar Hwon. "Jika kau melihat sesuatu, itu hanyalah jimat yang dikirim oleh astrolog. Bukankah waktunya satu bulan lagi?"
"Apa yang Yang Mulia maksudkan?" tanya Bo Kyung.
"Penyempurnaan pernikahan kita." jawab Hwon dingin. "Tabib dan astrolog sudah memperingatkan berkali-kali bahwa sebelum hari itu, kita harus menjaga jarak dan menjernihkan pikiran."
"'Jangan datang lagi ke kamarku' apakah itu yang ingin kau katakan padaku?" pikir Bo Kyung dalam hati.
"Akhirnya kau mengerti." Hwon berkata seakan bisa membaca pikiran Bo Kyung.
Dengan mata berkaca-kaca, Bo Kyung tersenyum dan mengangguk.
Setelah Hwon pergi, Bo Kyung masih duduk terpaku.
"Apa yang sedang kau sembunyikan?" ujar Bo Kyung dalam pikirannya. "Apa alasanmu memperingatkanku agar tidak datang? Yang Mulia, apa yang sedang kau sembunyikan dariku?"
Bo Kyung teringat Wol.
"Apa kau sedang jatuh cinta pada seseorang?"
Bo Kyung menangis. Ia kemudian membulatkan tekadnya.
"Dayang Jo." panggilnya pada dayangnya. "Cari dan temukan seorang dayang Raja yang bisa kita manfaatkan. Setelah kau menemukannya, katakan padanya untuk memata-matai shaman yang selalu menghabiskan malam bersama Yang Mulia, lalu laporkan semuanya padaku."
Yang Myeong datang ke toko kertas lagi. Ia menanyakan pada pemilik toko apakah seorang gadis shaman datang lagi ke toko tersebut.
Setelah susah payah mengingat, akhirnya pemilik toko menjawab kalau gadis itu tidak pernah datang lagi kesana.
Yang Myeong kecewa.
Yang Myeong keluar dari toko tersebut dengan langkah gontai. Tanpa ia sadari, ia melewati tiga orang shaman yang sedang berjalan di kota.
Salah satu gadis shaman itu terpesona melihat ketampanan Yang Myeong. Ia menatap Yang Myeong. Gadis itu tidak lain adalah Jan Shil.
Melihat Yang Myeong membuat Jan Shil teringat pada pemuda yang menyelamatkannya dulu saat ia masih kecil. Ya, itu memang penyelamatnya
"Kakak!" panggil Jan Shil pada Yang Myeong.
Yang Myeong bingung. "Kakak?"
Jan Shil langsung memeluk Yang Myeong, membuat Yang Myeong menjadi sangat terkejut.
"Hentikan! Hentikan!" seru Yang Myeong, mencoba mendorong Jan Shil menjauh.
Jan Shil cemberut.
Yang Myeong menatap penampilan Jan Shil. "Kau tidak kelihatan seperti wanita penghibur." katanya.
"Mana mungkin aku wanita penghibur!" seru Jan Shil kesal. "Sekali lihat saja seharusnya kau tahu kalau aku adalah shaman dari Balai Samawi."
"Shaman Balai Samawi?" tanya Yang Myeong.
"Batu ajaib... Kau tidak ingat?" tanya Jan Shil.
Yang Myeong mencoba mengingat-ingat. "Ah! Kau adalah anak yang bisa mengetahui masa depan seseorang dengan mata tertutup!"
Jan Shil mengangguk dan tertawa senang.
Jan Shil menceritakan pada Yang Myeong bahwa kini ia adalah shaman betulan.
"Kau adalah shaman?" tanya Yang Myeong, berpikir. "Balai Samawi adalah tempat yang paling aman bagi shaman dan bisa pergi dengan bebas ke ibu kota."
Yang Myeong mencengkeram lengan Jan Shil. "Diantara shaman Balai Samawi, adakah seorang shaman yang bernama Wol?"
"Wol?" ulang Jan Shil. Ia hampir saja kelepasan bicara, namun mendadak ia ingat pada peringatan Nok Young agar tidak bicara sembarangan. Jika Jan Shil berani bicara pada orang lain mengenai Matahari dan Bulan, maka Nok Young akan memotong tangan dan kakinya.
Jan Shil menggeleng pada Yang Myeong. "Aku tidak tahu." ujarnya.
Jan Shil kembali ke balai samawi dengan lesu.
"Kakak, maafkan aku." ujarnya dalam hati. Ia berbaring di sisi Wol yang sedang tidur.
Malam itu, Wol bermimpi mengenai Hwon. Mimpi ketika Hwon mengenakan topeng dan menariknya pergi.
Wol tidak bisa melihat wajah Hwon yang tertutupi topeng.
Wol terbangun dengan kaget.
"Nona, kau mendapat mimpi itu lagi?" tanya Seol. "Apa kau masih belum bisa melihat wajahnya?"
Wol mengangguk. "Kali ini, aku benar-benar ingin melihat wajahnya."
"Nona, apakah kau benar-benar ingin melihat wajahnya?" tanya Seol dalam hati. "Bukankah setiap malam kau selalu berada di sisinya?"
Wol datang ke kamar Hwon. Saat itu, Hwon sedang membaca buku. Wol sedikit terkejut dan duduk di hadapan Hwon.
"Kau memukulku telak dengan suratmu." ujar Hwon tanpa mengalihkan matanya dari buku. "Aku bisa merasakan kebencianmu yang mendalam padaku."
"Aku tidak membencimu." protes Wol.
"Walaupun kau mengatakan tidak membenciku, namun dalam suratmu kau menegurku, bukan?" tanya Hwon.
"Kata-kata kesetiaan dan dendam adalah dua hal yang berbeda." ujar Wol.
"Kau tidak mengeluh, tapi tetap menegurku, bukan?" tanya Hwon lagi.
"Yang ingin kukatakan adalah bahwa gulma di sisi jalan juga punya alasan akan keberadaannya." ujar Wol menjelaskan. "Seorang shaman sepertiku adalah salah satu rakyat Yang Mulia dan berharap bisa melakukan sesuatu untuk Yang Mulia."
"Kau jelas-jelas menegurku." kata Hwon bersikeras. "Kau mengatakan kalau aku sebagai Raja tidak bisa memahami pikiran rakyatnya. Apa kau sedang mencoba membuatku sadar bahwa aku tidak kompeten?"
"Jika pembaca dipenuhi prasangka, maka akan ada kesalahpahaman." ujar Wol.
Hwon tertawa. "Jadi kau mengatakan kalau aku dipenuhi prasangka dan salam paham dengan maksud sebenarnya dari surat ini?" tanyanya memojokkan.
"Bukan begitu maksudku." ujar Wol cepat.
"Kau sekarang melewati batas." Nada bicara Hwon meninggi. "Apa kau lupa dengan siapa kau sedang bicara?! Aku adalah..."
Hwon terdiam. Ia dulu pernah mengatakan hal yang sama pada Yeon Woo.
Wol benar-benar mengingatkannya pada Yeon Woo.
Hwon bangkit dari duduknya. Ia memanggil kasim dan mengatakan kalau ia sumpek berada di ruangan dan ingin jalan-jalan di luar untuk mencari udara segar.
"Kau adalah jimatku, jadi kau harus ikut denganku." ujar Hwon pada Wol.
Hwon, Wol, Woon, kasim dan para dayang berjalan-jalan di halaman.
Hwon memerintahkan kasim dan para dayang mundur menjauh, termasuk Woon.
Wol juga mundur, namun Hwon menarik lengannya.
"Kau tetap disini." kata Hwon. "Kau adalah jimatku."
Saat itu, mereka sedang berada di paviliun putri mahkota, tempat dulu Yeon Woo tinggal di istana. Tempat itu kini disegel. Tidak boleh ada seorangpun yang masuk kesana.
Wol menatap tempat itu. Kilatan kenangan saat ia berada disitu muncul dalam benaknya.
"Yeon Woo!" terdengar Hwon kecil menangis dan memanggil Yeon Woo.
"Disini terpendam dalam kenangan menyedihkan Yang Mulia." ujar Yeon Woo. "Apakah orang yang menangis disini adalah kau, Yang Mulia?"
Hwon terkejut dan maju mendekati Wol.
"Apa yang kau lihat?" tanya Hwon.
Wol terdiam.
Hwon menarik tubuh Wol mendekat padanya.
"Apa kau melihat semuanya dengan kekuatan shaman-mu?" tanya Hwon seraya menyentuh wajah Wol.
"Benar." jawab Wol.
"Kalau begitu, gunakan kekuatan shamanmu untuk menebak." kata Hwon.
"Menebak?" tanya Wol.
"Apa yang kau pikir akan kulakukan setelah ini?" tanya Hwon.
Wol diam.
"Hari ini Hyeong Sun mengatakan sesuatu yang aneh padaku." kata Hwon. "Mengatakan apa menurutmu? Apakah kau pikir aku akan memperhatikan shaman sepertimu?"
Hwon makin mendekatkan kepalanya pada Wol.
"Kenapa Anda seperti ini?" ujar Wol.
Hwon makin mendekat pada Wol seakan hendak menciumnya.
Para dayang, kasim dan Woon menunduk agar tidak melihat.
Mendadak, Hwon langsung menggandeng tangan Wol dan menariknya kabur.
Kasim memerintahkan para dayang mengejar, namun Woon malah berjalan ke arah berlawanan.
Hwon mengajak Wol masuk ke sebuah ruangan.
"Kau... Siapa kau sebenarnya?" tanya Hwon.
"Aku adalah shaman Wol."
"Bukan, kau bukan Wol." kata Hwon.
"Lalu, siapa aku?" Wol balik bertanya. "Aku hidup sebagai shaman tanpa memiliki nama. Aku Wol. Itulah nama yang Yang Mulia berikan padaku."
Hwon menyentuh lengan Wol.
"Apa kau benar-benar tidak bisa mengenaliku?" tanya Hwon dengan mata berkaca-kaca. "Apakah kau benar-benar tidak pernah bertemu denganku sebelumnya?"
"Yang Mulia, apa saat ini kau sedang mencari jejaknya pada diriku?" tanya Wol. "Siapa yang kau lihat pada diriku? Apakah gadis yang bernama Yeon Woo? Kenapa kau membiarkan aku ada disisimu? Apa karena aku mirip dengan gadis itu? Tapi aku bukan gadis itu."
"Tutup mulutmu!" bentar Hwon. "Sekarang kau benar-benar sudah melewati batas. Hanya karena aku membiarkan kau berada disisiku, bukan berarti aku menyukaimu. Kau hanyalah jimat. Kau pikir siapa dirimu? Beraninya kau..." Hwon terdiam dan melanjutkan dalam hati, "membuatku bingung."
Hwon berbalik dan beranjak pergi, namun kakinya lemas dan hampir terjatuh.
Wol maju untuk membantu.
"Jangan dekati aku." ujar Hwon. "Jika kau melewati batas lagi, aku tidak akan melepaskanmu."
Hwon juga mengatakan kalau ia ingin tidur sendirian dan memerintahkan Wol pulang.
Diam-diam, Hwon memerintahkan Woon untuk menjaga Wol selama perjalanan pulang tanpa sepengetahuan Wol. Setelah Wol sudah sampai dengan selamat, Hwon menyuruh Woon mampir ke suatu tempat.
Pembicaraan dengan Hwon membuat Wol terpukul. Kata-kata Hwon terus terngiang di telinganya.
Diam-diam, Woon menjaganya dari jauh.
Ketika sedang berdoa, Nok Young merasakan sesuatu. Ia keluar dan melihat Wol sedang berdiri diam di luar.
"Kenapa kau berdiri disini?" tanya Nok Young. "Bukankah seharusnya kau berada disisi Yang Mulia? Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
"Ibu, siapa sebenarnya aku?" tanya Wol. "Kau mengatakan bahwa ketika masih kecil aku dicampakkan oleh kedua orang tuaku dan terlantar di jalanan. Kau melihat kemampuan shaman pada diriku, lalu mengasuhku."
"Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal ini?" tanya Nok Young cemas.
"Beberapa hari ini aku selalu melihat bayangan-bayangan aneh." ujar Wol. "Kelihatannya itu adalah kenangan milik orang lain. Tapi aku merasa seakan itu adalah kenanganku sendiri. Ini membuatku bingung."
"Hal itu dikarenakan kemampuanmu belum sempurna sehingga menciptakan ilusi sementara." kata Nok Young. "Jadi, berhentilah memikirkan masa lalumu."
"Aku... tidak mungkin pemilik kenangan itu, bukan?" ujar Wol. "Tak peduli semirip apapun aku dengannya, aku tidak mungkin menjadi orang itu, bukan?"
Nok Young sedih sekaligus terperanjat mendengar pernyataan Wol. Demikian halnya dengan Seol, yang mendengar pembicaraan mereka diam-diam. Ia menangis.
Yeom berdiri di halaman rumahnya seorang diri seraya menatap ke langit. Dari jauh, Seol mengamatinya.
Mendadak dari belakang terdengar suara.
"Siapa disana?" tanya Yeom.
Mendadak Yang Myeong melompat dan mengagetkan Yeom.
"Pangeran Yang Myeong! Kau membuatku terkejut!" seru Yeom.
"Aku melakukannya dengan sengaja." kata Yang Myeong nyengir tanpa rasa bersalah sama sekali. "Di luar dingin. Ayo kita masuk ke dalam dan minum."
Tiba-tiba muncul asap dan Woon muncul bagai hantu.
Yang Myeong dan Yeom melompat kaget.
"Kau membuatku kaget!" ujar Yang Myeong kesal. "Kenapa kau muncul tiba-tiba seperti itu?"
Woon datang menemui Yeom untuk menyampaikan pesan Hwon.
"Yang Mulia memerintahkan Uibin (uibin adalah ipar Raja) untuk datang ke istana." ujar Woon.
"Adakah alasan ia memanggilku ke istana secara tiba-tiba?" tanya Yeom.
Woon diam.
"Anggap saja aku tidak pernah bertanya." kata Yeom. "Kau pasti tidak akan mau menjawab."
"Karena aku sudah menyampaikan pesannya, maka aku akan pemit pergi." ujar Woon.
Woon bangkit untuk berdiri. Tidak sengaja ia melihat sebuah pembatas buku.
"Itukah tulisan adikmu?" tanya Woon.
"Itu adalah hadiah ulang tahun yang dibuatkan Yeon Woo untukku." kata Yeom.
"Dia sangat luar biasa." puji Woon.
"Ia tidak hanya pandai dalam seni, tapi juga dalam sastra" ujar Yeom.
Seol menunggu di luar dinding pagar, namun Yeom tidak keluar lagi. Ia menarik napas dan berjalan pergi.
Woon menyadari kehadiran Seol. Ia membuntuti dari belakang.
Woon menarik Seol dan menyerangnya.
"Siapa yang mengirimmu kemari?" tanya Woon. "Kenapa kau memata-matai rumah Uibin? Apa tujuanmu?"
Seol hanya diam dan melarikan diri.
"Orang itu..." Woon berpikir.
"Kudengar kau memiliki kekasih." kata Yeom.
"Pasti Putri Min Hwa yang mengatakannya." ujar Yang Myeong.
"Kupikir itu tidak benar, jadi ternyata benar." kata Yeom senang. "Orang seperti apa dia?"
Yang Myeong terdiam sejenak. "Aku juga tidak tahu." jawabnya. "Tahukah kau, dulu saat final pemilihan Putri Mahkota, aku melompati dinding..."
Yang Myeong teringat masa lalunya ketika ia mengajak Yeon Woo pergi bersamanya.
"Jika hari itu aku... tidak menggunakan senyum untuk menutupi perasaanku yang sesungguhnya..."
Yang Myeong teringat nasehat Wol agar tidak menunjukkan senyum palsu untuk menutupi perasaannya yang sesungguhnya.
"Jika aku lebih mengeluarkan keberanian dan meraihnya dengan tanganku..." Yang Myeong tak kuasa menahan air matanya. "Jika aku menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya... dan mengajaknya lari bersamaku... Ia mungkin... akan berada di sisiku."
Karena Seol tidak juga pulang sampai larut malam, Wol menunggunya hingga kembali.
"Dari mana kau?" tanya Wol.
"Aku pergi ke rumah mantan majikanku." jawab Seol.
"Mereka pasti orang yang sangat baik." ujar Wol, tersenyum. "Kau sering sekali mengunjungi mereka."
Seol mengangguk. "Ya, mereka orang yang benar-benar baik." jawab Seol. "Ketika orang lain memperlakukan aku seperti binatang, mereka memperlakukan aku layaknya manusia. Mereka memberiku nama 'Seol'. Nama yang sangat indah." Seol memandang Wol dengan mata berkaca, dan berkata dalam hati, "Nona, kaulah orang itu."
Yeom terdiam di kamarnya. Teringat kata-kata Yang Myeong.
"Kita berdua telah berubah." ujar Yang Myeong. "Namun dalam ingatanku, adikmu tetap berumur 13 tahun."
Yeom masuk ke kamar Yeon Woo.
Disana, ada sebuah peti yang diatasnya merupakan papan catur. Yeom membuka laci peti tersebut dengan tangan bergetar dan melihat bidak-bidak catur. Yeom menangis mengingat Yeon Woo.
Yeom menutup laci dan membuka penutup peti. Disana, ia menemukan sebuah surat.
Jan Shil mencari Yang Myeong.
"Kakak, orang yang kau cari..." ujar Jan Shil takut-takut. "Aku akan membantumu untuk bertemu dengannya."
Jan Shil langsung berlari memeluk Yang Myeong.
"Kakak, kau dalah menyelamat nyawaku." tangis Jan Shil. "Aku pasti akan membalas semua kebaikanmu. Tak peduli apa yang akan terjadi padaku, aku akan membalas kebaikanmu. Akan kupastikan kau bisa bertemu lagi dengannya. Jadi, jangan sedih ya?"
Percakapan dengan Wol terus terngiang di telinga Hwon dan membuatnya tidak bisa tidur.
Yeom pamit pada ibunya dan Min Hwa untuk pergi ke istana.
Min Hwa kesal karena Yeom pergi dengan tiba-tiba dan tidak mengajaknya.
Yeom datang ke istana. Para dayang terpesona melihatnya.
Hwon sangat senang melihat Yeom.
Ia menyuruh kasimnya menyiapkan makanan karena ia ingin bicara empat mata dengan Yeom.
Para menteri ribut karena melihat Yeom datang.
Sebagai Uibin, Yeom seharusnya tidak bisa bersinggungan dengan politik ataupun pembelajaran pengetahuan.
Menteri Pajak malah ribut karena kedatangan Yeom membuat ranking ketampanannya di istana menjadi menurun.
Para menteri berdebat mengenai tujuan Hwon memanggil Yeom ke istana. Mereka merasa terancam.
"Heo Yeom sudah kehilangan kekuatannya." pikir Dae Hyeong dalam hati. "Kenapa ia mengunjungi istana?"
Yeom memberikan surat Yeon Woo pada Hwon.
"Ini adalah surat yang ditinggalkan adikku." ujar Yeom. "Mulanya aku tidak ingin menyerahkannya padamu karena semuanya hanyalah masa lalu. Namun aku berpikir bahwa aku harus menyerahkannya pada pemilik yang sesungguhnya walaupun terlambat."
"Apakah ini benar-benar surat yang ditulis Yeon Woo untukku?" tanya Hwon, terpukul.
"Benar." jawab Yeom. "Saat adikku masih hidup, ia hanya memiliki satu suami di hatinya, yaitu kau, Yang Mulia. Kumohon mulai saat ini, lupakan adikku."
Dengan tangan gemetar, Hwon meraih surat Yeon Woo.
"Yang Mulia, kau telah memiliki Ratu di sisimu." ujar Yeom. "Tolong jangan biarkan Ratu kesepian lagi. Jika Yang Mulia tidak bisa melepaskan bayang-bayang adikku, adikku tidak akan tenang. Ini adalah permohonan dariku dan adikku. Tolong kabulkanlah."
"Semua orang... terus menyuruhku untuk melupakan dia." ujar Hwon lemah. Ia menangis.
Sepulangnya Yeom dari istana, Hwon hanya diam seraya menatap surat Yeon Woo.
Setelah menguatkan hatinya, ia meraih surat tersebut dan membukanya.
"Putra Mahkota, aku menggunakan sisa kekuatanku yang terakhir untuk menulis surat ini." ujar Yeon Woo dalam suratnya. "Mungkin surat ini akan menjadi masalah untukmu atau mungkin saja surat ini tidak akan disampaikan padamu. Namun aku tetap mengambil pena dan menulis. Sebelum aku pergi, aku bisa bertemu dengan Putra Mahkota. Itu membuatku sangat bersyukur. Aku memintamu agar tidak menyalahkan dirimu sendiri. Tolong lupakan aku. Ayah akan segera membawakan obat. Setelah ini, aku tidak akan bisa melihatmu lagi selamanya. Jadi kumohon lupakan aku. Jaga kesehatanmu."
Hwon menangis.
"Ia mencemaskan kesehatanku." ujar Hwon. "Ia menggunakan sisa kekuatannya untuk menulis surat. Tapi aku... aku..."
"Yang Mulia..." Kasim ikut menangis.
"Ia pasti sangat kesakitan." tangis Hwon makin keras. "Tulisannya di akhir surat kelihatan sangat lemah."
Dengan berlinang air mata, Hwon memerintahkan kasimnya untuk mengambil kotak berisi surat permohonan maaf Yeon Woo yang dulu. Hwon ingin sekali melihat tulisan Yeon Woo.
Dayang mata-mata Bo Kyung melaporkan semua gerak-gerik Hwon.
Hwon membuka kotak dan mengambil surat dari Yeon Woo.
Saat itu tulisan Yeon Woo sangat indah.
Mendadak Hwon menyadari sesuatu. Ia membuka laci dan mengambil surat dari Wol.
Tulisan mereka berdua sangat mirip.
"Woon." panggil Hwon. "Bawa Wol kemari."
Woon terkejut.
"Cepat bawa Wol kemari!" seru Hwon tidak sabar.
Wol berjalan menuju paviliun Raja.
Mendadak ia ditarik oleh seseorang. Orang tersebut adalah yang Myeong.
"Kau... Apakah kau mengenaliku?" tanya Yang Myeong.